Wujud Kedaulatan Desa Adat

Dalam filosofi hidup masyarakat Bali, keseimbangan antara parahyangan, pawongan, dan palemahan adalah kunci. LPD menjadi wujud nyata dari keseimbangan itu di bidang ekonomi.

Di Bali, tanah bukan sekadar hamparan bumi yang diinjak. Ia adalah warisan leluhur yang dijaga dengan jiwa dan rasa. Di atas tanah itu berdiri pura, tumbuh subak, hidup banjar, dan berdenyut nadi kehidupan masyarakat adat. Namun, di tengah arus modernisasi yang semakin deras, ada satu lembaga yang menjadi jangkar agar nilai-nilai kearifan itu tak hanyut oleh zaman: Lembaga Perkreditan Desa (LPD).

Didirikan pertama kali pada tahun 1984 atas prakarsa Gubernur Bali pada waktu itu, Prof. Ida Bagus Mantra, LPD lahir bukan sekadar lembaga keuangan. Ia adalah simbol kedaulatan ekonomi Desa Adat — wujud nyata dari konsep “desa mawacara”, di mana masyarakat adat mengatur dan mengurus dirinya sendiri, termasuk dalam bidang ekonomi.

Akar dari Desa, Untuk Desa

Berbeda dari lembaga keuangan modern yang berorientasi pada laba, LPD tumbuh dari akar komunitas adat. Ia beroperasi di bawah awig-awig desa, dengan pengawasan langsung oleh krama desa. Setiap keputusan besar — dari pembagian hasil hingga penentuan arah kebijakan — selalu bermuara pada musyawarah desa adat.

Di sinilah letak kedaulatannya: LPD bukan milik individu, melainkan milik kolektif masyarakat adat. Keuntungan yang diperoleh tidak keluar dari desa, melainkan kembali dalam bentuk dana pembangunan, kegiatan sosial, dan upacara keagamaan.

Benteng Ekonomi Krama Bali

Dalam filosofi hidup masyarakat Bali, keseimbangan antara parahyangan, pawongan, dan palemahan adalah kunci. LPD menjadi wujud nyata dari keseimbangan itu di bidang ekonomi. Ketika masyarakat membutuhkan dana untuk upacara, pendidikan, atau usaha, LPD hadir tanpa jarak — dengan pelayanan yang memahami nilai dan tradisi setempat.

Tak hanya meminjamkan uang, LPD menjaga keharmonisan sosial dan keberlanjutan ekonomi desa. Saat badai pandemi COVID-19 melanda, banyak sektor ekonomi goyah. Namun, berkat kekuatan sosial adat dan keberadaan LPD, desa-desa adat di Bali mampu bertahan. LPD menjadi tameng, membantu masyarakat menunda cicilan, menjaga likuiditas, dan tetap menyalurkan bantuan bagi krama yang terdampak.

Di sinilah peran pentingnya: LPD bukan hanya lembaga finansial, tapi lembaga sosial-ekonomi yang menjaga martabat desa adat.

Dari Sistemisasi ke Digitalisasi

Waktu berjalan, dan dunia berubah. Anak-anak muda desa kini tumbuh di era ponsel pintar dan transaksi digital. Menyadari itu, para penglingsir LPD tidak tinggal diam. Sejak tahun 2014, Badan Kerjasama LPD (BKS-LPD) Provinsi Bali bersama USSI Dewata Teknologi mulai merancang roadmap digitalisasi LPD.

Era ini menjadi jembatan dari sistemisasi menuju digitalisasi. Kini, nasabah dapat mengakses tabungan, transfer, hingga pembelian pulsa melalui aplikasi m-Pise LPD Digital — aplikasi personal banking berbasis rekening LPD yang bersifat close loop, pengembangan aplikasi untuk menjaga kedaulatan data dan transaksi tetap berada dalam ekosistem adat.

Dengan dukungan teknologi tersebut, LPD tidak kehilangan jati dirinya. Sebaliknya, LPD memasuki dunia digital tanpa meninggalkan akar adatnya. Masyarakat adat kini punya aplikasi sendiri — bukan sekadar meniru bank konvensional, tapi membangun ekosistem ekonomi digital berbasis adat.

Salah satu prinsip luhur yang menjadi pegangangan teguh oleh LPD adalah “uang adat harus berputar di desa.” Artinya, penggunaan dana hasil tabungan dan kredit dari masyarakat kembali untuk membiayai kegiatan ekonomi masyarakat itu sendiri. Inilah bentuk ekonomi sirkular berbasis adat yang memperkuat ketahanan lokal.

Bayangkan seorang petani yang menabung di LPD. Kemudian LPD meminjamkan uang tersebut ke pedagang di pasar desa. Pedagang itu kemudian berbelanja hasil pertanian di desa yang sama. Uang tidak keluar ke kota, tidak bocor ke luar daerah — semua berputar dalam lingkaran kecil yang menumbuhkan ekonomi lokal.

Kedaulatan yang Menyatu dalam Identitas

LPD tidak hanya bicara angka dan laporan keuangan. Ia bicara jati diri. Kehadirannya menegaskan bahwa masyarakat adat Bali mampu mandiri mengelola asetnya, mengatur sistemnya, dan menjaga nilai-nilainya di tengah globalisasi.

Kedaulatan desa adat bukan hanya dalam ritual atau budaya, tetapi juga dalam ekonomi. Ketika krama menabung di LPD, sejatinya mereka tidak sekadar menyimpan uang — mereka menyimpan kepercayaan, menjaga identitas, dan memperkuat akar adatnya sendiri.

Dalam setiap buku tabungan LPD, tersimpan cerita gotong royong, kebersamaan, dan kepercayaan. Dalam setiap rapat desa, terselip semangat menjaga warisan leluhur agar tetap hidup dan relevan di masa kini.

Dan dalam setiap rupiah yang berputar melalui LPD, ada denyut kedaulatan yang memastikan: Bali tetap Bali — bukan karena masa lalunya yang megah, tapi karena masyarakatnya yang terus menjaga jati dirinya di tengah perubahan.

Benteng Kedaulatan yang Terus Hidup

Kini, ketika dunia menuju digital, LPD menunjukkan bahwa tradisi dan teknologi dapat berjalan beriringan. Bahwa kedaulatan desa adat tidak berarti menolak perubahan, tetapi menguasai perubahan dengan nilai-nilai adat sebagai kompasnya.

LPD adalah bukti bahwa masyarakat adat Bali tidak hanya mampu bertahan — tetapi juga memimpin, berdaulat, dan berinovasi atas dasar budayanya sendiri.

LPD bukan sekadar lembaga keuangan. Ia adalah roh kedaulatan desa adat. Ia hidup di setiap pura, tumbuh di setiap banjar, dan berdenyut dalam setiap langkah masyarakat Bali yang berlandaskan Tri Hita Karana.